BLORA || Portaljatengnews.com – Tunggak (akar) pohon jati yang biasanya menjadi limbah dari kegiatan penebangan, mampu menghasilkan rupiah. Dari tangan kreatif warga Ngliron, akar pohon jati itu disulap menjadi aneka furnitur yang bernilai seni dan layak jual tinggi.
Hampir 20 persen warga Desa Ngliron, menjadi perajin kayu tunggak jati.
Namun tak semua tunggak yang didapat perajin dengan cara membeli dari pihak Perhutani bisa diukir. Apalagi kalau ukurannya terlalu kecil. Biasanya dalam satu petak hutan, hanya ada dua atau maksimal lima tunggak yang bisa diukir.
“Selain ukurannya harus besar, tunggak yang rapuh juga tidak bisa diukir,” kata Kuswanto, salah satu perajin di Desa Ngliron, Kecamatan Randublatung kabupaten Blora, Kamis (24/4/2025).
Ia mencontohkan furnitur seperti lemari, kursi, atau meja, tidak semua kayu jati bisa digunakan sebagai bahan baku.
“Pohon jati yang besar belum tentu baik kualitasnya. Kalau dipaksa jadi bahan baku, biasanya tidak awet dan mudah dimakan kumbang teter atau rayap,” lanjutnya.
Biasanya, tunggak maupun batang jati yang kualitasnya baik, adalah yang berusia tua.
“Kalau masih muda kayunya mudah rapuh,” katanya.
Harga tunggak yang dibeli perajin dari pihak Perhutani juga bermacam-macam. Tergantung ukuran, usia dan bentuk. Namun paling utama tergantung tingkat kesulitan proses penggalian tunggak.
Rata-rata tunggak ukuran standar yang layak diukir memiliki diameter antara 75–100 cm dengan kedalaman akar sekitar 120–175 cm. Sedangkan tunggak dari pohon jati yang ukuran besar, memiliki diameter antara 90–150 cm dengan kedalaman akar antara 150–200 cm.
Tunggak diolah menjadi furniture seperti meja, kursi, atau hanya sebagai hiasan ruang tamu, harganya sangat murah misal seperti meja jamur satu set harga mulai Rp 700 ribu dan paling mahal Rp 4 juta.
Kuswanto, juga mengatakan bahwa untuk bahan baku sangat mudah didapatkan apalagi saat habis tebangan.
Tidak semua furnitur bisa dibuat dengan bahan baku tunggak pohon jati. Sebab tunggak memiliki bentuk yang permanen mulai dari batang paling bawah hingga akar. Sehingga tidak sama dengan jati dalam bentuk papan yang dipakai bahan baku dipan, lemari kusen, atau jendela.
Menurut Kuswanto, perajin ukir tunggak jati lainnya, permintaan paling banyak adalah tunggak jati yang digunakan sebagai kursi dan meja.
“Biasanya pembeli pesan satu paket meja kursi, semuanya berbahan tunggak. Jadi bukan meja dan kursi yang bahannya dari papan,” sebutnya kepada Portaljateng.
Hanya tunggak berukuran besar yang menurutnya bisa digunakan sebagai bahan baku. Karena untuk meja butuh tunggak yang cukup lebar, sedangkan untuk kursi pakai ukuran tunggak bisa bermacam-macam bentuk. Dia menyebut ada dua jenis bentuk tunggak yang dipakai kursi. Tak heran, kebanyakan pemesan kerajinan ukir tunggak dari kalangan menengah ke atas.
“Meja dan kursi dari tunggak jati biasanya ditempatkan di taman atau teras rumah yang luas,” ujarnya. Selain untuk meja dan kursi, ada juga tunggak pohon jati yang digunakan sebagai barang hiasan rumah tamu. Seperti replika ikan, bunga teratai, patung dan sandaran kursi.
“Tapi yang paling sering dicari adalah meja dan kursi,” pungkas dia.
Laporan: Wawan